ORDE BARU


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

         Lahirnya era orde baru dilatarbelakangi oleh runtuhnya orde lama. Tepatnya pada saat runtuhnya kekuasaan Soekarno yang lalu digantikan oleh Soeharto. Salah satu penyebab yang melatarbelakangi runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru adalah keadaan keamanan dalam negri yang tidak kondusif pada masa orde lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI. Hal ini menyebabkan presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk melaksanakan kegiatan pengamanan di indonesia melalui surat perintah sebelas maret atau Supersemar. Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965.

Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
v  Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
v  Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
v  Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
v  Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.



BAB II
PEMBAHASAN
B. ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Kronologis lahirnya orde baru
·   30 September 1965
Terjadinya pemberontakan G30S PKI
·   11 Maret 1966
Letjen Soeharto menerima Supersemar dari presiden Soekarno untuk melakukan pengamanan
·   12 Maret 1966
Dengan memegang Supersemar, Soeharto mengumumkan pembubaran PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang
·   22 Februari 1967
Soeharto menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari presiden Soekarno
·   7 Maret 1967
Melalui sidang istimewa MPRS, Soeharto ditunjuka sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil
pemilu
·   12 Maret 1967
Jenderal Soeharto dilantik menjadi presiden Indonesia kedua sekaligus menjadi masa awal mula lahirnya era orde baru.
Ciri pokok orde baru
·   Pemerintahan yang diktator tetapi aman dan damai
·   Tindak korupsi merajalela
·   Tidak ada kebebasan berpendapat
·   Pancasila terkesan menjadi ideologi tertutup
·   Pertumbuhan ekonomi yang berkembang pesat
·   Ikut sertanya militer dalam pemerintahan
·   Adanya kesenjangan sosial yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin
Kebijakan pada masa orde baru
·   Indonesia didaftarkan lagi menjadi anggota PBB pada bulan september 1966
·   Adanya perbaikan ekonomi dan pembangunan
·   Pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran
·   Dilaksanakannya kebijakan transmigrasi dan keluarga berencana
·   Adanya gerakan memerangi buta huruf
·   Dilakukannya swasembada pangan
·   Munculnya gerakan Wajib Belajar dan gerakan Nasional Orang Tua Asuh
·   Dibukanya kesempatan investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia
Masa Jabatan Presiden Suharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. 
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut ilustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan dunia Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan [[Cendana]]. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.


Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh [[komunisme]] di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan fakta.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
C. KONFLIK PERPECAHAN PASCA ORDE BARU
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Pulau Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Papua (rian Jaya). Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan Jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
* Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya dolar AS  (AS$) 70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
* Sukses [[transmigrasi]]
* Sukses [[Keluarga Berencana|KB]]
* Sukses memerangi [[buta huruf]]
* Sukses swasembada pangan
* Pengangguran minimum
* Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
* Sukses Gerakan Wajib Belajar
* Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
* Sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.



Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
* Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
* Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
* Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
* Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
* Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
* Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
* Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
* Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
* Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
* Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
* Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
* Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat : Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, (B. J. Habibie), untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun (1998) dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Indonesia Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya (Timor Timur), transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti (Uni Soviet) dan (Yugoslavia). Hal ini tak lepas dari peran (Habibie) yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan jaman.












DEMOKRASI
Demokrasi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak definisi dan interpetasi. Dari mulai rumusan sederhana tentang inti demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah government of the people, by the people and for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) sampai munculnya model-model demokrasi kontemporer; communitarian democracy, deliberative democracy dan agonistic democracy seperti diklaim Wayne Gabardi (2001) dalam Contemporary Models of Democracy. Meskipun definisi sangat bervariasi, inti dari demokrasi itu sendiri adalah kebebasan memilih dan keterbukaan dengan suara rakyat atau perorangan sebagai unsur utama.
Makna lain dari demokrasi adalah sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari seperangkat aturan-aturan. Suatu aturan disebut demokrasi apabila aturan tersebut memuat prinsip-prinsip demokratis, yaitu keadilan, persamaan, kebebasan dan pengakuan atas hak milik pribadi. Bila suatu aturan demokratis tidak lagi memuat prinsip-prinsip tersebut maka hilanglah roh demokrasi. Sama halnya dengan suatu pemerintah yang menyebut dirinya demokratis, tetapi tidak menjalankan prinsip-prinsip demokratis, maka dia tidak dapat digolongkan sebagai pemerintah yang demokratis.
Selama 30 tahun rezim Orde Baru Indonesia di bawah kekuasaan rezim represif, yang berhasil menciptakan keamanan dan persatuan nasional dengan menggunakan kekuatan militer. Sikap represif tersebut juga dibarengi dengan sikap eksploitatif terhadap sumber daya alam yang ada di berbagai daerah, selain itu juga terjadi korupsi di tingkat pusat kekuasaan, tanpa control dari masyarakat. Tetapi begitu rezim orde baru mulai goyah, baik karena desakan kalangan pro demokrasi, desakan dari kekuatan internasional, maupun akibat pembusukan dari dalam rezim itu sendiri, akibatnya control terhadap rakyat mulai melemah. Pada saat itulah konflik horizontal yang selama ini bisa diredam secara militer mulai muncul ke permukaan, baik konflik vertical maupun horisontal. demokratis, tetapi tidak menjalankan prinsip-prinsip demokratis, maka dia tidak dapat digolongkan sebagai pemerintah yang demokratis.
Selama 30 tahun rezim Orde Baru Indonesia di bawah kekuasaan rezim represif, yang berhasil menciptakan keamanan dan persatuan nasional dengan menggunakan kekuatan militer. Sikap represif tersebut juga dibarengi dengan sikap eksploitatif terhadap sumber daya alam yang ada di berbagai daerah, selain itu juga terjadi korupsi di tingkat pusat kekuasaan, tanpa control dari masyarakat. Tetapi begitu rezim orde baru mulai goyah, baik karena desakan kalangan pro demokrasi, desakan dari kekuatan internasional, maupun akibat pembusukan dari dalam rezim itu sendiri, akibatnya control terhadap rakyat mulai melemah. Pada saat itulah konflik horizontal yang selama ini bisa diredam secara militer mulai muncul ke permukaan, baik konflik vertical maupun horisontal.
Mantan Menlu Amerika Serikat, medelaine Albright, ketika pada 1999 berkunjung ke Indonesia pernah berkata: “demokrasi harus muncul dari kehendak perorangan untuk ikut serta dalam keputusan-keputusan yang membentuk kehidupan mereka. Berbeda dengan diktator, demokrasi tidak pernah merupakan pemaksaan tapi selalu berupa pilihan”. Artinya, partisipasi rakyat dalam menentukan keputusan-keputusan di tingkat pemerintah, yang mengatur kehidupan rakyatnya, adalah inti dari kehidupan berdemokrasi. Karena itu, untuk mendorong rakyat agar mampu berpartisipasi aktif dalam berdemokrasi, adalah wajar bagi pemerintah untuk menengok faktor pendidikan sebagai salah satu pendorong tumbuhnya proses demokratisasi di Indonesia.
Dalam menjaga dan meningkatkan kesadaran demokrasi, adalah sangat penting untuk memberikan informasi yang cukup, akurat dan benar di masyarakat. Karena sangat berbahaya bagi demokrasi jika masyarakatnya mudah berprasangka dan mudah digiring ke konflik dan permusuhan karena kebodohan dan pemutarbalikan informasi. Boleh jadi salah satu factor mudahnya masyarakat terprovokasi untuk melakukan tindakan anarki, seperti sering terdengar di wilayah konflik di Indonesia, adalah karena masyarakatnya dengan mudah dihasut dan adanya misinformasi. Disinilah perlunya pendewasaan sikap itu perlu dibini lewat pendidikan.
Berikut beberapa kenyataan (umum) yang dapat teridentifikasi dalam demokrasi Indonesia:
·      Rakyat bodoh. Posisi rakyat yang dimarjinalisasi pada dasarnya telah menjadi sarana yang paling efektif yang menutup setiap kesempatan yang dimiliki oleh rakyat. Dalam suatu kesempatan muncul ungkapan sebagai berikut: “… kami ini Cuma rakyat kecil; kalau kami berpendapat … apakah bisa diterima, bagaimana jika pendapat kami salah; apakah sesuai dengan aturan yang berlaku – padahal kami tidak tahu aturan yang ada; maka dari itu hanya ‘ngarasani’ yang bisa dilakukan…”. Kondisi ini merupkan salah satu tantangan terberat -  sangat sulit meyakinkan bahwa tidak ada manusia yang bodoh, dan yang ada adalah korban pembodohan.
·      Ketergantungan. Apa yang dilukiskan oleh rakyat sendiri sebagai ‘kebodohan’ terkadang menjadi sarana untuk ‘bersembunyi’. Dalam pengalaman interaksi masyarakat, salah satu kendala utama adalah membangkitkan kemandirian. Pihak luar yang mungkin pada awal membangkitkan kesadaran dan kemandirian, pada gilirannya ‘terjerat’ dalam ketergantungan masyarakat – dan dalam konteks ini para pendamping bisa ‘disandera’ atau dijadikan ‘alamat tanggungjawab’ ketika muncul suatu persoalan – begitu pula ketika manghadapi masalah, maka pihak luar bisa dijadikan semacam kekuatan ‘beking’.
·      Pemerintah adalah Hukum. Sentralisasi kekuasaan yang berjalan pada dasarnya telah menciptakan ‘atmosfir’ kekuasaan yang sangat menakutkan bagi rakyat. Terhadap situasi yang demikian, reaksi yang palingmungkin dari rakyat hanya berupa gossip, ‘ngrasani’ – yang tentu saja tidak akan sampai pada suatu protes massal. Organisasi kekuasaan yang besar, pada dasarnya berhasil menempatkan pemerintah sebagai pusat kehidupan masyarakat. Mekanisme perijinan yang ada telah menjadi alat politik yang sangat efektif, sehingga masyarakat tidak punya cukup nyali untuk menentang setiap sikap yang mungkin menindas. Akibatnya pemerintah tampil sebagai actor dominan yang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Secara praktis pemerintah telah berubah bukan sebagai hamba hukum melainkanmenjadi hukum itu sendiri. Pemerintah tidak pernah dianggap salah, sebaliknya masyarakat yang selalu bersalah. Karena itu setiap interaksi dengan pihak luar, yang akan menjadi pertanyaan adalah: apakah sudah ijin aparat; apakah ada dasar hukum; apakah tidak bertentangan dengan pemerintah.
·      Warga Pemerintah. Posisi pemerintah yang menjelma menjadi hukum, pada dasarnya makin memperkukuh kekuasaan pemerintah. Logika awal dimana pemerintah adalah hasil kreasi masyarakat untuk mengatasi maslah mereka, sama sekali tidak bisa berjalan. Yang terjadi justru sebaliknya dimana pemerintah menjadi salah satu pihak yang menyumbang masalah (lihat gambar 1).
Yang terjadi kemudian adalah suatu kondisi dimana rakyat secara sistematik menempatkan diri mereka bukan sebagai warga Negara melainkan menjadi warga pemerintah, dimana pemerintah adalah tuan dan masyarakat adalah hamba. Relasi hirarki ini tentu saja sangat tidak menguntungkan. Hal ini mengakibatkan rakyat mudah diperalat dan menerima begitu saja apa yang diinginkan atau yang diinstruksikan pemerintah tanpa jelas apa keuntungan bagi mereka. Sebagai contoh: persiapan satu tujuan; membuat pagar; dan lain-lain menjadi sangat kabur mana kepentingan penguasa dan mana yang merupakan kepentingan rakyat.
·      Mitos ekonomi dan anti-politik. Proses politik yang penuh dengan represi telah menempatkan rakyat menjadi pihak yang seakan-akan (dan dalam kenyataan) tidak memiliki hak untuk ambil bagian dalam politik. Secara sistematik telah terbentuk mitos bahwa wilayah rakyat hanyalah ekonomi. Selain itu, terdapat pula mitos yang dikembangkan cerdik pandai yang mengatakan bahwa “rakyat yang lapar tidak mungkin diajak berbicara masalah politik”. Kalangan LSM turut memberi sumbangan yang besar – terutama oleh praktek LSM selam dua dasawarsa yang lebih memfokus pada masalah ekonomi (peningkatan pendapatan) – dan mengabaikan aspek politik.
·      Legalitas mengalahkan legitimasi. Kekuasaan absolute telah pula menjadikan rakyat terkena sindrom legalitas. Akibatnya semua masalah selalu dipulangkan kepada legalitas dan bukan legitimasi, jadi lebih penting disetujui oleh pemerintah (legalitas) ketimbang adanya dukungan nyata dari rakyat (legitimasi). 

Ciri-Ciri Demokrasi
Pada dasarnya, demokrasi adalah partisipasi seluruh rakyat dalam mengambil keputusan-keputusan politik dan manjalankan pemerintahan. Keputusan politik yang dimaksud adalah kesepakatan yang ditetapkan menjadi sebuah aturan yang akan mengatur kehidupan seluruh rakyat itu sendiri. Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang sangat mendasar dalam demokrasi, karena demokrasi bukan hanya berkaitan dengan tujuan sebuah ketetapan yang dihasilkan oleh pemerintah, tetapi jyga berkaitan dengan seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.
Demokrasi mengandung elemen-elemen mendasar yang perlu diperhatikan dan dipahami, elemen-elemen tersebut adalah:
§  Demokrasi mengakui kesetaraan setiap individu. Artinya, setiap orang (warga Negara) memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang tinggi atau rendah. Itu adalah elemen mendasar yang merupakan inti dari demokrasi.
§  Nilai-nilai yang ada pada setiap individu mengatasi nilai-nilai yang ada pada demokrasi. Maknanya adalah, demokrasi tidak merupakan wadah kosong, tetapi sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya.
§  Pemerintah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, karena dalam demokrasi, pemerintah merupakan pelayan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan yang sejati.
§  Toleransi dari yang mayoritas kepada minoritas. Disini tercermin pula saling melindungi, saling menghargai dan yang besar mengayomi yang kecil.
§  Adanya musyawarah dalam memutuskan setiap pesoalan, bukan ditentukan sendiri oleh kelompok yang mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani mayoritas.
§  Adanya aturan hukum yang diterapkan untuk semuanya. Demokrasi tanpa aturan hukum akan menjadi anarkis. Karena itu, hukum merupakan dasar yang paling penting.
§  Adanya cara untuk mencapai tujuan bersama, apakah itu prosedur atau mekanisme maupun tata caranya. Semuanya harus mengikuti kaidah-kaidah demokrasi. Demokrasi yang baik hars pula dilakukan dengan cara yang baik.
Demokrasi Langsung Dan Tak Langsung
Dalam suatu komunitas yang kecil (seperti RT, RW, desa) praktek demokrasi sering dilakukan secara langsung. Jadi semua warganya dapat ikut serta dalam setiap proses demokrasi. Demokrasi langsung adalah dimana setiap orang mempunyai keikutsertaan dalam berbagai hal seperti memilih pemimpin mereka, menentukan hal-hal yang menyangkut kehidupan mereka bersama, dan sebagainya. Sedangkan demokrasi tak langsung adalah proses demokrasi yang dalam keikutsertaannya bisa diwakilkan atau seseorang member utusan untuk menggantikannya dalam arti bisa perwakilan oleh orang lain.

Ancaman Terhadap Demokrasi
Tidak berjalannya prinsip-prinsip demokrasi tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi. Sebelumnya telah disinggung mengenai siapa saja yang menjadi ancaman terhadap demokrasi itu. Selain ancaman dari luar, sejarah menunjukkan bahwa pasang surut praktek demokrasi karena pertarungan antar kelompok dalam masyarakat yang ingin memperebutkan kekuasaan.
Dalam pertarungan-pertarungan politik seperti itu, terkadang beberapa kelompok menggunakan cara—cara yang tidak demokratis. Pertarungan politik tidak hanya pertarungan antara rakyat melawan elit, tetapi juga antar kelompok-kelompok dalam masyarakat. Ini berarti bahwa baik elit maupun rakyat sama-sama mempunyai potensi yang dapat mengancam demokrasi itu sendiri.























BAB III   
PENUTUP
          Kesimpulan
Rezim Orde Baru secara tidak angsung berperan penting dalam proses pendewasaan Bangsa Indonesia. Berbagai hal telah dicapai dalam masa ini. Pembangunan nasional yang pesat, pertumbuhan ekonomi yang dinamis, keamanan nasional yang terjaga, dan kesehatan masyarakat yang terjamin.
Dalam bidang pendidikan, Orde Baru berhasil mencetak cendekiawan-cendekiawan yang mengharumkan nama bangsa dengan ide-ide kreatifnya.
Namun, tidak ada gading yang tak retak. Orde Baru juga memiliki banyak kekurangan, seperti semaraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, pembungkaman kritik dan pengharaman oposisi, pembatasan kebebasan pers, penggunaan kekerasan dalam menjaga keamanan, dan tidak adanya rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah atau presiden selanjutnya).
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan Orde Baru, kita tinggal menyikapi dengan baik dan mengambil hikmah yang terpendam di dalamnya. Kesuksesan dalam Orde Baru dapat menjadi tolak ukur bagi bangsa ini di masa yang akan datang. Sedangkan kelemahannya harus diperbaiki dan dijadikan pelajaran agar tidak terjadi di kemudian hari.
Demokrasi dari segi gagasan kadang-kadang menarik untuk dipelajari, dan mungkin akan sangat mudah dipahami. Tetapi menjalankan demokrasi dalam praktek adalah tidak mudah dan sangat rumit. Oleh sebab itu demokrasi merupakan perwujudan kehidupan masyarakat, yang dirasakan oleh seluruh golongan masyarakat baik masyarakat golongan rendah maupun golongan tinggi (elit).


DAFTAR PUSTAKA

1.    Abdul Mun’im DZ. 2003. Studi Transisi Demokrasi Dan Training Manajemen Konflik. Republika. Jakarta.
2.    Ahmad Ali Nurdin. 2003. Demokrasi Tanpa Proses Pendidikan Yang Baik: Tak Mungkin. Republika. Jakarta.
3.    Friedrich Ebert Stiftung. 2003. Demokrasi: Bagi Pemula. The Ridep Institute.
4.    Kacung Marijan. 1999. Wajah Demokrasi Kita. Republika. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar