KEJAHATAN DALAM MASYARAKAT DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

Struktur sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan munculnya beberapa kejahatan tertentu. kejahatan itu sebenarnya didukung oleh perbedaan struktur sosial itu sendiri. Pemahaman dan persepsi yang salah oleh kelompok tertentu yang berada di dalam struktur sosial dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan tertentu yang dapat digolongkan sebagai kejahatan, yang menurut orang yang bersangkutan dimungkinkan dan dibenarkan karena dirinya berada dalam struktur sosial dimaksud. Beberapa kejahatan tersebut antara lain white collar crime dan domestic violence.  

Secara harfiah white collar crime diartikan sebagai ‘kejahatan kerah putih’. White collar crime adalah kejahatan yang melibatkan orang yang terhormat dan dihormati serta berstatus sosial tinggi (Sutherland dan Cressey, 1960). Versi lain mengatakan bahwa “kejahatan orang berdasi” adalah penyalahgunaan kepercayaan oleh orang yang pada umumnya dipandang sebagai warga yang jujur dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Domestic Violence atau kekerasan dalam rumah dapat adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Rumah Tangga, dapat diartikan sebagai tempat semua orang yang tinggal di bersama di satu tempat kediaman. Dalam perkembangannya, rumah tangga ini dapat berupa wadah dari suatu kehidupan penghuninya yang bisa saja terdiri dari berbagai status, seperti suami istri, orangtua dan anak; orang yang mempunyai hubungan darah; orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga, orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga; orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama.







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kejahatan

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang.
Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti social yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, Negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.
M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya. W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.
Menurut E. H. Sutherland, seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam interaksi dengan orang lain.
Kejahatan ada 2 macam :
a) White Collar Crime
Yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat di dalam menjalankan peran dan fungsinya.
b) Blue Collar Crime
Yaitu kejahatan yang dilakukan oleh golongan strata rendah.

B. Latar Belakang dan Tipologi Kejahatan

Empat pendekatan yang pada dewasa ini masih ditempuh dalam menjelaskan latar belakang terjadinya kejahatan, adalah :
1. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba menjelaskan sebab atau sumber kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan proses biologis,
2. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi respons terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta masalah-masalah kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
3. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan poses-proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang secara khusus dikaitkan dengan unsur-unsur didalam sistem budaya,
4. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalam hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum, tingkat identifikasi dengan kejahatan, konsepsi diri, pola persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau yang bukan penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara melakukan dan hubungan prilaku dengan unsur-unsur kepribadian serta sejauh mana kejahatan merupakan bagian dari kehidupan seseorang.

Pengetahuan tentang tipologi penjahat, kejahatan dan kriminalitas sangat diperlukan bagi usaha untuk merancang pola pencegahan dan pembinaan pelanggar hukum.Dalam perkembangan ilmu pengetahuan kriminologi telah banyak dilakukan usaha untuk menggolongkan kejahatan dan penjahat dalam tipe-tipe tertentu.
Mayhew dan Moreau mengajukan tipologi kejahatan berdasarkan cara kejahatan yang dihubungkan dengan kegiatan penjahat, yaitu penjahat profesional yang menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan kriminal dan penjahat accidental yang melakukan kejahatan sebagai akibat situasi dan kondisi lingkungan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.
Lindesmith dan Dunham membagi penjahat atas penjahat individual yang bekerja atas alasan pribadi tanpa dukungan budaya dan penjahat sosial yang didukung norma-norma kelompok tertentu dan dengan kejahatan memperoleh status dan penghargaan dari kelompoknya.
Gibbons dan Garrlty menyusun pembedaan antara kelompok penjahat yang seluruh orientasi hidupnya dituntun oleh kelompok-kelompok pelanggar hukum dengan kelompok penjahat yang orientasi hidupnya sebagian besar dibimbing oleh kelompok bukan pelanggar hukum.
Walter C. Recless membedakan karir penjahat ke dalam : penjahat biasa, penjahat berorganisasi dan penjahat profesional. Penjahat biasa adalah peringkat terendah dalam karir kriminil, mereka melakukan kejahatan konvensional mulai dari pencurian ringan sampai pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan keterampilan terbatas, juga kurang mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya mempunyai organisasi yang kuat dan dapat menghindari penyelidikan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis ilegal berskala besar, Kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan digunakan untuk memperoleh dan mempertahankan pengendalian atas kegiatan ekonomi diluar hukum. Adapun penjahat professional lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu menghasilkan kejahatan yang besar dan yang sulit diungkapkan oleh penegak hukum. Penjahat-penjahat jenis ini mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih membutuhkan keterampilan daripada kekerasan.



Marshall B. Clinard dan Richard Quinney memberikan 8 tipe kejahatan yang didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu :
1. karir penjahat dari si pelanggar hukum
2. sejauh mana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok
3. hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah
4. reaksi sosial terhadap kejahatan.

Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut :
1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminal seperti pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya.
2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.
3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.
4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegai itusangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran.Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas.
6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time- Carreer dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar.
7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan,pelacuran,perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebaigainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal dilingkungan-lingkungan pemukiman yang baik.
8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka
memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras. Dengan mengembangkan suatu tipologi mengenai kejahatan dan penjahat, maka akan diperoleh gambaran yang lengkap dan cermat mengenai pelaku dan kejadiannya serta sejumlah ciri umum dari kejahatan dan penjahat yang lebih jauh dapat dipakai untuk menentukan teknik-teknik yang lebih membawa hasil dalam kerangka pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum.
C. Upaya Penanggulangan

Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘politik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media)
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal' (bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi social yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba, Di dentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya
dalam masalah "urban crime"), antara lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yanag tidak cocok/serasi;
b. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;
c. mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;
d. keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
e. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan clan lingkungan pekeljaan;
f. menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;
g. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya;
h. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas;
i. meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;
j. dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikapsikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikapsikap tidak toleransi.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan "penal'. Disinilah keterbatasan jalur penal clan oleh karena ltu harus ditunjang oleh jalur non-penal. Salah satu jalur non-penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah lewat jalur kebijakan sosial. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.
Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai kongres PBB, bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu :
a. tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang;
b. mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral;
c. tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh/integrasi.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya. Prof. Soedarto pernah juga mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna dan kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan adalah sangat penting dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan. Dengan pendidikan dan penyuluhan agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yanag sehat jiwa/rohaninya tapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan rohani/mental, tapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai pandangan hidup kemasyarakatan. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat tidak harus berorientasi pada pendekatan religius tapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional.
Disamping upaya-upaya non-penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif.
Sumber lain itu misalnya media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efekpreventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini Prof. Soedarto menyatakan bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinyu termasuk upaya non-penal yang mempunyai pengaruh preventis bagi penjahat (pelanggar hukum). Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif-edukatif dengan masyarakat perlu diefektitkan.
Kegiatan operasi-operasi untuk pemberantasan kejahatan bukan merupakan hal yang baru di kepolisian, misalnya operasi/razia pemilikan senjata api gelap, operasi penembakan pelaku kejahatan (residivis) dan lain-lain. Kegiatan ini mempunyai tujuan ganda yakni pertama sebagai upaya jangka pendek untuk dalam waktu singkat menekan peningkatan angka kejahatan dan kedua menciptakan pemenuhan kebutuhan warga masyarakat atas rasa aman. Kegiatan itu seringkali juga memperlihatkan tanggapan kelembagaan aparat keamanan atas kecemasan bahkan rasa takut atas kejahatan (fear of crime) yang diyakini dalam proses pengendalian sosial.
Keberhasilan dan efektivitas langkah-langkah operasional polisi jelas hanya dapatdicapai dengan dukungan kedua aspek lain yaitu lingkungan tempat polisi bekerjadan factor intern polisi. Dalam hubungan itu, maka hubungan polisi dengan masyarakat harus senantiasa diperhitungkan kedalam rencana-rencana operasi dan dikonkritkan dalarn bentuk tim kerja ini memerlukan syarat telah berjalannya pengembangan gagasan mengenai tanggung jawab bersama atas bekerjanya tata peradilan pidana dan telah terciptanya pengertian bersama dengan masyarakat. Faktor intern polisi yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas serta efektivitasnya, yakni perbandingan rasional antara sumber daya yang dicapai. Persyaratan lainnya terletak pada unsur operasional, seperti stabilitas patroli dalam wilayah-wilayah geografsis yang rawan serta interaksi maksimal dengan masyarakat dan unsur-unsur organisasional seperti kesatuan supervisi dan peningkatan profesionalisme.
Penghukuman yang merupakan pencegahan dari segi represif juga tidak boleh mengabaikan segi pembinaan dengan dasar pemikiran bahwa prilaku hanya mungkin melalui interaksi maksimal dengan kehidupan masyarakat dan pelaksanannya tidak dapat dipisahkan dari strategi perencanaan sosial yang lebih luas. Perlu juga kiranya penyuluhan hukum bagi masyarakat yang bertujuan untuk sedikit demi sedikit mengurangi proses stigmatisasi atau proses pemberian cap terhadap pelanggar hukum dan bekas narapidana.

















BAB III
PENUTUP

Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adalah bagian dari masyarakat.
























DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang, 1991.
J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali,
Jakarta, 1982.
Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas), Armico Bandung, 1984.
Soedjono D., Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (Crime
Pervention), Alumni, Bandung, 1970.

1 komentar:

  1. BOLAVITA | BANDAR JUDI ONLINE TERPERCAYA yang menyediakan berbagaii macam permainan, salah satunya adalah LIVE CASINO DRAGON TIGER.

    DRAGON TIGER merupakan permainan yang paling sederhana dan cukup mudah dimainkan, karena permainan ini cukup menebak antara DRAGON atau TIGER dan memperoleh kartu tertinggi dimana dalam permainan.

    Tak lupa juga, BOLAVITA juga memberikan bonus besar-besaran , seperti :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS SETIAP HARI 5%
    - BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO & SLOT ONLINE 0.5%
    - BONUS REFERRAL UP TO 9%

    Permainan ini merupakan permainan yang cukup mudah untuk dipahami dan dimainkan.

    Berikut pula arti yang digunakan dalam permainan DRAGON TIGER, yaitu :
    - Odds, merupakan jumlah kemenangan yang diperoleh jika benar
    - Odd, merupakan kartu berangka genap
    - Even, merupakan kartu berangka ganjil
    - Black, merupakan kartu berwarna hitam

    DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA, RAIHLAH JACKPOT KEBERUNTUNGAN ANDA DISINI !!!

    Untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi kami via LIVECHAT , WA / TELEGRAM : +62812-2222-995

    LIVECHAT 24 JAM NONSTOP !!!

    #bolavita #agenjudi #agenjuditerpercaya #bandarjudi #bandarjuditerpercaya #judionlineterbaik #situsjuditerpercaya #agens128 #slotgames #casino #livecasino #baccarat #dragontiger #sicbo #roullete #togel #togelonline #togelonlineterbaik #togelonlineterpercaya #wmcasino #sv388 #tangkas #casinoonline

    BalasHapus